JURUSAN/PROGRAM STUDI :

JURUSAN/PROGRAM STUDI : (1) Ilmu Administrasi Negara (S1) & (2) Ilmu Pemerintahan (S1)

Kamis, 02 Juni 2011


Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif

oleh: Sutoto, M.Si, M.M.

 

 

A. PENDAHULUAN

Penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan untuk memahami fenomena sosial memiliki ciri-ciri yang mencerminkan perspektif yang mendasarinya, yaitu fenomenologi. Menurut perspektif fenomenologi, fenomena sosial harus dipahami secara holistik, yaitu sebagai sesuatu yang utuh. Objek penelitian tidak semata-mata dipandang sebagai objek tetapi sekaligus sebagai subjek. Artinya, yang diteliti dipandang sebagai pusat fenomena sosial yang ada. Oleh karena itu, pandangan merekalah yang terpenting bukan pandanan peneliti.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan partisipatif, dan dokumen. Instrumen utama untuk itu adalah manusia, yaitu peneliti sendiri.
Mengingat pentingnya faktor manusia selaku peneliti maupun subjek penelitian, maka timbul permasalahan kontroversial mengenai objektivitas, validitas, dan reliabilitas penelitian kualitatif yang dalam istilah penelitian kualitatif lebih dikenal dengan kredibilitas. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis akan mencoba membahasnya.

B. OBJEKTIVITAS

Objektivitas dalam penelitian kualitatif objektivitas diwujudkan dalam model “hypothetico-deductive method” (Kirk dan Miller, 1986, 11). Secara deduktif peneliti membangun hipotesis berdasarkan teori yang telah ada, kemudian diuji dengan data empiris yang dikumpulkannya di lapangan. Model ini ternyata tidak selalu cocok bagi penelitian ilmu sosial dan humaniora.
Terutama pada penelitian seni dan etika. Hal ini disebabkan karena para pakar seni dan etika tidak selalu menolak teori-teori yang mengandung resiko empiris. Contohnya, suatu karya seni yang tidak disenangi oleh sebagian besar anggota masyarakat tidak dapat begitu saja digolongkan sebagai karya seni yang tidak punya nilai. Mungkin saja masyarakat tersebut memiliki daya apresiasi rendah terhadap karya seni bermutu tinggi. Bermutu tinggi atau rendah pun sangat relatif.
Demikian juga suatu sistem nilai yang baik (menurut komunitas tertentu) mungkin saja tidak diterapkan secara taat azas (konsisten) oleh sebagian besar masyarakat tertentu. Hal ini disebabkan oleh kondisi masyarakat tersebut yang belum memungkinkan pengamalan nilai-nilai yang dipandang baik. Contohnya, apabila sebagian kaum wanita yang beragama Islam belum secara konsisten memakai jilbab, tidak dapat begitu saja diartikan bahwa wanita muslim berjilbab itu tidak baik.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, kebenaran yang ditemukan melalui penelitian kualitatif tidak didasarkan pada objektivitas yang diukur dengan banyaknya dukungan realitas empiris saja. Kebenaran yang dicari melalui penelitian kualitatif adalah kebenaran yang secara filosofis dianggap benar.  Kebenaran ini di samping di dasarkan pada realitas empiris juga didasarkan pada konsensus masyarakat ilmiah. Dengan demikian, yang berlaku adalah “kebenaran antar-subjektivitas. Menurut Kirk dan Miller (1986 : 12) “secara alami pandangan manusia bersifat binocular”. Artinya, melihat hal yang sama dari berbagai perspektif secara simultan sehingga diperoleh pemahaman secara utuh dan mendalam.

C. VALIDITAS

Dalam penelitian kuantitatif dikenal adanya validitas internal yang menunjuk pada seberapa besar variansi pada suatu variabel terikat dapat digunakan untuk mengontrol variansi pada variabel bebas. Cara menguji ada tidaknya validitas internal adalah dengan cara menilai seberapa banyak hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan dengan realitas kehidupan (Lincoln dan Guba, 1985 : 290).
Dari sudut pandang peneliti kualitatif, realitas kehidupan harus dipandang sebagai suatu perangkat kostruksi mental yang bersifat majemuk. Manusia sebagai pembuat konstruksi tersebut memiliki pikiran yang dapat mengarahkan agar konstruksi mental tersebut diterima atau ditolak oleh orang lain meskipun harus melalui persuasi atau bahkan hipnotis. Oleh karena itu, mengukur validitas berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan realitas kehidupan bukan merupakan suatu keharusan tetapi sekedar pilihan (Lincoln dan Guba, 1985 : 295).
Dalam penelitian kualitatif, untuk menunjukan validitas atau nilai kebenaran (truth value) harus dibuktikan dengan ada atau tidaknya konstruksi mental yang bersifat majemuk secara tepat. Artinya, bahwa penemuan dan interpretasinya memiliki kredibilitas yang menurut istilah konvensional disebut validitas internal.
Kredibilitas dalam penelitian kualitatif dicapai dengan cara : (1) mengusahakan agar penelitian dilakukan sedemikian rupa sehingga penemuan dan penafsirannya sesuai dengan hal yang sebenarnya; (2) mendemonstrasikan kredibilitas penemuan dengan jalan mengusahakan agar penemuan penelitian disetujui oleh penyusun realitas yang bersifat majemuk tersebut (subjek yang diteliti).
Cara yang terakhir biasa disebut dengan istilah “triangulasi” dengan jalan meminta subjek yang diteliti untuk mengecek kebenaran interpretasi peneliti dengan meminta mereka membaca (atau dibacakan peneliti) draft laporan penelitian.
Meskipun bias yang disebabkan oleh instrument yang mungkin sekali terjadi dalam penelitian kualitatif, interaksi secara kontinyu dan dalam jangka waktu yang lama memungkinkan peneliti kualitatif mengatasi bias penelitiannya. Penelitian kualitatif didesain sehingga ada kecocokan antara data dengan apa yang benar-benar dikatakan dan dilakukan oleh subjek penelitian. Dengan mengamati subjek dalam kehidupannya sehari-hari, mendengar apa yang dipikirkannya, peneliti kualitatif memperoleh pengetahuan tentang kehidupan sosial dari tangan pertama (Bogdan dan Taylor, 1984 : 7).
Mengenai hal keterterapan (applicability) hasil penelitian, peneliti kualitatif mempertimbangkan konteks. Hasil penelitian dapat diransfer ke fenomena yang lain apabila fenomena lain tersebut memiliki tingkat kesamaan konteks yang relatif tinggi.  Dengan kata lain aplikabilitas hasil penelitian kualitatif bersifat kontekstual. Hal ini berbeda dengan istilah generalisasi dalam penelitian kuantitatif. Peneliti kuantitatif menyarankan penerapan hasil penelitian pada populasi dalam konteks yang mungkin sekali berbeda.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa yang dapat menentukan suatu temuan penelitian kualitatif dapat ditransfer ke konteks tertentu atau tidak adalah pihak yang akan menerapkan temuan penelitian tersebut. Pihak yang akan menerapkan temuan penelitian harus mengumpulkan bukti empiris tentang persamaan kontekstual. Tanggung jawab peneliti terbatas pada memberikan deskripsi yang lengkap dengan disertai bukti-bukti yang meyakinkan sehingga memungkinka pihak yang bermaksud menerapkan temuan penelitian membuat keputusan mengenai ada atau tidaknya persamaan konteks penelitian dengan konteks fenomena yang akan diterapi temuan tersebut.

D. RELIABILITAS

Kirk dan Miller (1986 : 41) membedakan tiga macam reliabilitas, yaitu reliabilitas “quixotic”, reliabilitas “diacronic”, dan reliabilitas “sincronic”.
Reliabilitas quixonic adalah keadaan dimana suatu metode pengumpulan data secara kontinyu menghasilkan data yang sama (tidak bervarias). Reliabilitas ini cenderung menghasilkan data yang salah. Sebagai contoh, mengukur suhu badan dengan termometer yang sudah rusak. Dalam penelitian etnografic, penerapan reliabilitas quixonic ini hanya muncul jika peneliti sengaja mengamati untuk memperoleh informasi ulang. Contohnya, masyarakat Indonesia pada umumnya apabila disanjung akan merespon dengan kata “ Ah, tidak.”. Bagi peneliti yang memahami budaya Indonesia tentu tidak akan mengartikan bahwa masyarakat Indonesia tidak suka disanjung. Namun, bagi peneliti yang tidak memahami budaya Indonesia mungkin saja akan mengartikan bahwa masyarakat Indonesia tiak suka disanjung. Untuk itu diperlukan penelusuran lebih lanjut.
Reliabilitas diacronic adalah reliabilitas yang menunjuk pada stabilitas suatu observasi dari waktu ke waktu. Itilah yang umum digunakan adalah “test-retest reliability”. Secara konvensional adanya reliabilitas diacronic ini dapat diketahui dari adanya persamaan hasil pengukuran ataupun kesamaan temuan penelitian yang dilakukan pada waktu yang berbeda. Reliabilitas diacronic mengandung keberatan, yaitu bahwa reliabilitas tersebut hanya mungkin dipertahankan jika suatu instrumen atau hasil penelitian tetap tidak berubah meskipun keadaan dunia mangalami perubahan. Pada saat meneliti fenomena sosial budaya, akan sangat berbahaya apabila berasumsi bahwa data akan memiliki tampilan yang sama dalam interval waktu yang cukup lama. Asumsi seperti ini sama halnya dengan menolak kenyataan sejarah.
Reliabilitas sincronic menunjuk pada kesamaan hasil observasi dalam periode waktu yang sama. Berbeda dengan reliabilitas quixonic, reliabilitas sincronic jarang melibatkan observasi yang identik, melainkan observasi yang taat azas (consisten) dengan mempertimbangkan adanya minat pengamat yang dalam konteks tertentu memiliki kehususan. Suatu keadaan  yang bersifat paradoks terjadi, yaitu tidak adanya konfirmasi pada reliabilitas sincronic justru membuat peneliti kualitatif menyadari bahwa betapapun mejemuknya (dalam arti tidak identik) pengukuran kualitatif secara simultan menjadi benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar